Monday 8 February 2016

Masalah? Renaturasi Aja!

**************************************


Semua orang, siapa pun dan dimana pun, pasti pernah mengalami masalah. Beda orang, beda kebutuhan, beda pula masalah yang dialami. Seiring pertumbuhan dan perkembangan diri kita, masalah yang kita alami pun bervariasi.

Ketika kecil, masalah terbesar kita biasanya berkaitan dengan permainan, entah selalu kalah setiap bermain, selalu dicurangi, dll. Ketika kita beranjak remaja pun, masalah yang dialami pun bertambah kompleks, salah satu contong paling umum yaitu yang berkaitan dengan asmara. Entah itu bertengkar dengan pacar, ditolak gebetan, maupun baper setelah bertemu mantan yang sudah lama tidak bersua. *Ehm* Begitu pula ketika kita telah mulai menjadi manusia dewasa, masalah yang dialami bukan hanya melulu soal cinta, tetapi juga berkembang menjadi seputar pekerjaan, entah bermasalah dengan bos atau rekan kerja, atau gaji yang dirasa terlalu kecil, dan masih banyak lagi.

Intinya, selama kita hidup kita pasti menghadapi suatu kondisi yang sangat tidak menyenangkan dan selalu merugikan kita: MASALAH. Berkaitan dengan masalah, lain orang lain pula caranya menyelesaikannya.




Reaksi yang paling umum kita lakukan ketika pertama kali mengalami masalah adalah: EMOSI. Ya, percaya atau tidak, kebanyakan orang langsung naik pitam, atau berubah menjadi bad mood, loyo, tidak semangat, ketika pertama kali mendapat masalah. Bahkan ada yang menjadi stress dan langsung berdampak negatif terhadap pekerjaan maupun kehidupan sosialnya. Hampir tidak ada orang yang langsung tenang atau kalem-kalem saja ketika menghadapi masalah, apalagi senyam-senyum/cengengesan. Minimal pasti langsung kesal atau kecewa.

Hal tersebut sebenarnya lumrah, selama tidak terlalu berlarut-larut dalam perasaan-perasaan negatif tersebut. Selama tidak terlalu terbuai oleh emosi yang, sebenarnya, tidak membantu sama sekali dalam pemecahan masalah kita. Yaah, tentu saja tidak ada satu orang pun yang mau terus menerus berlarut-larut dalam emosi negatif tersebut. Namun apa daya, mengembalikan mood dan semangat untuk beraktivitas saja susah, apalagi mencari solusi atas permasalahan yang terjadi. Susah berkali lipat!

Namun, ternyata kunci penyelesaiannya ada di diri kita sendiri. Lebih tepatnya ada di salah satu komponen yang dimiliki oleh setiap sel kita, dan ternyata kita turunkan ke keturunan kita: DNA.



DNA merupakan molekul yang memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Karena di dalamnya terdapat informasi genetik, atau yang biasa disebut gen, yang menentukan ciri-ciri kita, seperti warna kulit, jenis rambut, warna mata, dll. Segala ciri-ciri yang ada di diri kita saat ini, sebagian besar berasal dari gen yang diwariskan oleh kedua orangtua kita, dan nantinya akan kita turunkan pula ke anak cucu kita.

Ketika berada di suhu yang cukup tinggi, molekul DNA akan pecah, rusak, tidak dapat berfungsi dengan baik. Namun, ketika suhu diturunkan, atau dengan kata lain, molekul DNA tersebut didinginkan, molekul-molekul DNA yang tadinya rusak bergabung kembali menjadi DNA yang utuh. Molekul DNA yang telah utuh kembali ini pun dapat berfungsi kembali.

Sama seperti DNA yang terdapat di setiap sel tubuh kita, ketika kita terlarut dalam emosi ketika menghadapi masalah, kita akan susah untuk menemukan jalan keluar dari permasalahan yang kita alami. Diri kita sedang ter’denaturasi’. Bagaimana bisa mencari jalan keluar, jika kondisi diri kita sendiri saja tidak optimal?

Namun, jika kita bersedia untuk cooling down sejenak, menenangkan diri kita sendiri walaupun untuk sekejap saja, pasti ditunjukkan jalan keluarnya. Pasti ada saja jalan atau ‘hidayah’ yang kita terima, sehingga kita dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dengan baik. Intinya, kita harus 'mendinginkan kepala' kita terlebih dulu, agar diri kita ini ter-’renaturasi’ kembali, menjadi ‘satu kesatuan yang utuh’ kembali.

Cara me’renaturasi’ diri ini biasanya berbeda-beda bagi setiap orang. Ada yang melakukannya dengan beribadah, meditasi, membaca buku, main games, dan masih banyak lagi, tergantung dari kepribadiannya. Apapun cara yang ditempuh, tujuannya tetap satu: Menenangkan diri agar dapat menemukan solusi yang tepat untuk memecahkan masalah yang dihadapi.


Segala jawaban terhadap pertanyaan, keraguan, atau hal-hal lain yang mengusik kehidupan sehari-hari kita ternyata telah disediakan di dalam diri kita sendiri. Jika kita ingin mempelajari lebih dalam lagi tentang tubuh kita, ternyata di dalamnya terdapat berbagai macam informasi penting yang mampu membantu kita dalam menjalani hidup sehari-hari.

Monday 1 February 2016

Jadi Tumor Masyarakat, Mau?


**************************


Setiap orang, terutama anak muda, pastinya kan punya keinginan untuk bebas mengembangkan dirinya. Bebas berkreasi, pengen membuktikan kalo dirinya bisa dan bukan orang sembarangan. Pengen membuktikan kalo dia itu bisa sukses. Termasuk saya, kamu, kalian juga, pasti ada keinginan semacam itu. Intinya aktualisasi diri agar diterima di lingkungan masyarakat.

Caranya ya tentu saja bervariasi, tergantung dari lingkungan mana yang pengen didapatkan pengakuannya. Kalo dia ingin terjun ke lingkungan yang menganggap orang pintar itu keren, tentunya yaa dia akan belajar segiat mungkin agar diterima oleh orang-orang di lingkungan itu. Kalo dia ingin masuk ke lingkungan yang mengaggap orang yang badannya bagus itu keren, pastinya yaa dia bakal lebih sering work out ke gym, bikin badannya jadi bagus, berotot dan ideal, agar diterima dilingkungan tersebut. Dan sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh yang lain.

Cuman, dalam upaya agar diterima di lingkungan masyarakat tertentu, ada orang-orang yang, istilahnya, kebablasan dalam berusaha. Saking kelewat pengennya dia agar diakui oleh masyarakat, dia jadi lose control, lupa diri dan malah melakukan sesuatu yang justru membahayakan dirinya.



Kasus-kasus seperti sekelompok pemuda yang overdose karena lagi pesta miras oplosan (itu merekanya yang emang udah gila siih, masa’ iya miras dicampur sama Baygon lah, sol sepatu lah), para muda-mudi yang memamerkan foto mereka sedang beradegan gak senonoh, bikin graffiti di tembok rumah orang pake gambar kemaluan ato bahasa-bahasa kasar, bisa jadi salah satu contohnya.

Biasanya anak-anak yang seperti itu kan mereka yang merasa gak dapet kasih saying di rumah, gak cukup dapet perhatian dari keluarga, ato justru anak-anak yang terlalu dikerasin sama ortunya. Intinya mereka yang gak bisa mengekspresikan diri mereka dengan cara yang bener, jadinya mereka memilih untuk melampiaskannya di luar. Caper ke orang-orang lain, tapi caranya salah. Berusaha untuk tumbuh dengan caranya sendiri, tapi kebablasan.

Persis seperti tumor.

Loh?

Kok tumor?






Iya, tumor kan sel yang tumbuhnya kelewat cepet. Ini bisa terjadi soalnya ada salah satu komponen sel, yang fungsinya cukup penting buat pembelahan sel, Protein Kinase C, kelebihan jumlahnya. Jadi pas sel-sel yang lain masih membelah diri jadi dua, empat sel, si sel tumor ini udah tumbuh jadi puluhan bahkan ratusan sel yang bikin kelompok sendiri.

Apa bagus?

Tenyata nggak.

Kumpulan sel-sel yang kebablasan pertumbuhannya itu ternyata bisa mengganggu dan menghambat pertumbuhan sel-sel normal di sekitarnya. Si sel-sel normal itu akhirnya jadi ‘kejepit’, gak bisa beraktifitas normal, dan ujung-ujungnya malah mati. Dan parahnya, kalo udah dalam tahap akut, si tumor ini nantinya juga bakal nyebar ke bagian tubuh yang lain, jadi kanker. Aktivitasnya yaa gak beda jauh dengan pas jadi tumor, mengganggu aktivitas sel-sel di sekitarnya.

Apa tubuh kita gak melakukan sesuatu untuk menghabisi si tumor ini? Tentu iya, cuman karena si sel tumornya ini yang udah kelewat kuat, jadi sel-sel pertahanan tubuh kita sendiri kewalahan.

Cara yang bisa ditempuh yaa akhirnya operasi. Membuang si tumor ini. Daripada mengacau di dalam tubuh, ya kan?

Naahh, sekarang siapa yang mau jadi kaya’ si tumor ini? Tentunya gak ada toh. Jangan sampai karena keinginan egois kita pribadi untuk mengembangkan diri kita, untuk menujukkan/memamerkan jati diri kita, kita jadi lupa diri, lupa untuk mengontrol diri kita sendiri. Emang ingin berkarya itu baik, tapi kudu tetep tau aturannya kan? Tetep harus memperhatikan norma-norma sosial yang ada di masyarakat kita. Kalo gak, yaa siap-siap aja kita disebut Tumor Masyarakat. Siap-siap aja bernasib sama seperti si tumor itu, di’operasi’ dari lingkungan masyarakat, alias dipaksa untuk keluar, dikucilkan. Alih-alih mendapat pengakuan yang kita idam-idamkan, yang kita dapat justru kecaman, hinaan dan caci-makian.

Karena yaa emang kitanya yang gak tau batas, malah mengganggu keamanan dan kenyamanan penduduk sekitar. Berkarya dengan baik, bahkan kalau perlu mendatangkan manfaat bagi masyarakat sekitar, seperti ngadain kerja bakti bersihin kali kah, meramaikan langgar di kampung setempat kah.

Kan masih banyak aktivitas positif lain, yang selain bisa membantu kita menunjukkan ke masyarakat “siapa diri kita sebenarnya”, tetapi juga mendapat bantuan & dukungan dari orang-orang. Bikin mereka seneng, ato seenggaknya gak bikin mereka risih.


Bisa kan? Pasti bisa.    



NB: Jika kalian merasa konten blog ini menarik, bisa like Facebook: CalonDokter, untuk update postingan berikutnya. 

Ditunggu komentar, kritik & sarannya yaa agar CalonDokter semakin berkembang! 

Terima kasih ^0^   

Sunday 31 January 2016

Virus Zika: Keluarga si Kecil Aedes Berulah Lagi



Akhir-akhir ini, dunia dihebohkan dengan menyebarnya virus baru yang cukup berbahaya: virus Zika. Bahaya virus ini seringkali disetarakan dengan bahaya virus Demam Berdarah, salah satu penyebabnya, mungkin, karena agen penyebaran kedua virus ini yang sama: nyamuk Aedes. Ya, lagi-lagi keluarga si kecil belang hitam putih ini berulah. Entah apakah nyamuk Aedes yang menyebarkan virus Zika ini memiliki ciri-ciri fisik yang sama dengan nyamuk Aedes aegypti, tapi yang jelas keberadaan virus ini patut diwaspadai. Bisa jadi, dalam kurun waktu yang gak begitu lama virus ini mulai menyerang Indonesia.




Virus Zika

Menurut data dari World Health Organization (WHO), awal mula munculnya virus Zika ini adalah ketika virus ini ditemukan di monyet rhesus di Uganda pada 1947. Virus ini kemudian mulai menyerang manusia, di negara yang sama, pada 1952. Ternyata, di tahun yang sama Zika gak hanya menyerang warga Uganda, tapi juga udah menyerang wilayah Tanzania. Sejauh ini, penyebaran virus ini meliputi negara-negara di kawasan Afrika, Amerika Latin dan negara-negara Pasifik.

Gejala virus ini kurang lebih sama dengan DB, yaitu demam, nyeri sendi, dan conjunctivitis (mata merah). Gejala lain yang umum ditemui yaitu nyeri otot dan sakit kepala. Gejala-gejala tersebut biasanya merupakan gejala yang sifatnya ringan, tapi bertahan sampai berminggu-minggu lamanya.

Sejauh ini, walaupun masih belum ditemukan kasus pasien yang meninggal karena Zika, tapi kita tetap harus berhati-hati, karena masa inkubasi dan informasi lain tentang virus ini yang belum diketahui, maka belum ada vaksin tertentu untuk mengobati virus ini.

Pencegahan dan Penanganan

Dikarenakan agen penyebaran virus ini yang sama dengan DB, maka mencegah virus ini menyebar sebenarnya cukup gampang: menghindari dan mengurangi gigitan nyamuk. Salah satu caranya yaitu dengan melakukan 3M: Menguras tempat penyimpanan air, Menutup tempat penampungan Air, Menimbun barang-barang yang mampu menampung air. Intinya, jangan sampai tubuh kita sering-sering digigit nyamuk. Menggunakan raket listrik pembasmi nyamuk, lotion anti nyamuk atau obat anti nyamuk pun bisa menjadi cara yang cukup efektif untuk mengurangi gigitan nyamuk. 

Bagi kalian yang lagi sakit atau gak enak badan, sebaiknya makan teratur, tidur yang cukup dan rajin minum air putih agar kekebalan tubuh meningkat. Jika sakit tetap berlanjut, langsung menghubungi dokter terdekat untuk mendapatkan pengobatan yang lebih lanjut.



                                                                
Virus Zika & Microcephaly

Ketika terjadi penyebaran virus ini di Brazil pada 2015, pemerintah setempat telah menemukan adanya keterkaitan antara virus Zika dengan microcephaly. Microcephaly adalah salah satu penyakit kongenital yang menyebabkan bayi lahir dalam kondisi volume otak yang menyusut, lebih kecil daripada bayi-bayi normal. Hal ini menyebabkan perkembangan otak bayi microcephaly yang cenderung cacat, yang berakibat pada kinerja otak yang tidak maksimal.

Sejauh ini, pada 2015 telah diduga ditemukannya 739 kasus microcephaly di Brazil, sangat jauh meningkat dibandingkan kasus microcephaly di Brazil pada tahun 2014, yang hanya mencapai 147 kasus. Oleh karenanya, diduga adanya keterkaitan antara meningkatnya kasus virus Zika dengan meningkatnya kasus microcephaly di Brazil. Walaupun hal ini sedang diteliti oleh Departemen Kesehatan setempat, sangat dihimbau bagi ibu-ibu hamil untuk sangat berhati-hati dalam menjaga kesehatannya.

Tapi, jika hal ini memang benar, maka virus Zika ini bisa jadi jauh lebih berbahaya daripada Demam Berdarah. Karena, selain menyerang orang dewasa dengan gejala yang berpotensi utuk sama bahayanya dengan DB, Zika juga menyerang janin ibu hamil, menyebabkan pengecilan volume otak bayi. Bayangkan, jika hampir seluruh ibu hamil terjangkit virus Zika ini, mereka nantinya akan melahirkan generasi-generasi penerus yang memiliki volume otak yang mengecil. Bahayanya apa? Kan cuma volume otak yang mengecil? Justru di situ lah bahayanya.




Otak merupakan pusat kendali dari segala kegiatan tubuh, ia mengendalikan seberapa cepat jantung harus berdetak, mengontrol pertumbuhan dan perkembangan sel-sel tubuh, dan berbagai macam proses metabolik tubuh lainnya. Selain itu, beberapa daerah di otak bertanggungjawab atas kemampuan kita untuk berpikir, berkomunikasi, berbahasa, dan segala macam keterampilan lainnya. Jika terjadi kerusakan pada otak, misal kerusakan pada Wernicke’s area di otak akan menyebabkan terganggunya kemampuan berbahasa kita.

Microcephaly bukan hanya dapat menurunkan kemampuan otak di bagian tertentu, tapi dapat menyebabkan menurunnya kemampuan otak secara keseluruhan, mengakibatkan berkurangnya kemampuan untuk beraktifitas secara normal, seperti berpikir, berkomunikasi, dll. Bisa dibayangkan kondisi Indonesia dan dunia 20-30 tahun lagi jika virus ini tetap menyebar. Kenyataan bahwa virus ini bukan hanya menyerang orang dewasa dan generasi saat ini, tetapi juga berpotensi menyerang generasi-generasi penerus, menjadi alasan kuat bagi kita untuk mencegah meluasnya penyebaran virus ini.

Oleh karena itu, mari jaga diri, keluarga dan generasi penerus kita dari penyakit berbahaya seperti virus Zika ini.

Semoga bermanfaat!


NB: Jika kalian merasa konten blog ini menarik, bisa like Facebook: CalonDokter, untuk update postingan berikutnya. 

Ditunggu komentar, kritik & sarannya agar CalonDokter semakin berkembang! 

Terima kasih ^0^   
  

Thursday 28 January 2016

Bahagia: Salju Pertama di Chongqing



Pagi hari itu, harusnya sama dengan hari-hari lain. Namun, saya pun tak tahu kenapa, tiba-tiba saja terbangun, tanpa terpaksa dibangunkan oleh bunyi alarm HP yang, jujur, sangat mengusik. Tapi justru bunyi alarm itu yang tetap saya gunakan, karena berkat suara alarm, yang sebenarnya tidak terlalu keras namun bunyinya cukup memuakkan telinga, itu lah saya mampu untuk bangun tepat waktu setiap paginya. Yaahh, walaupun untuk jaga-jaga saya tetap memasang alarm lagi 2-3 jam setelah jam alarm yang pertama (hanya berlaku pas liburan saja siih).

Tapi, entah kenapa pagi itu terasa berbeda. Selain karena tanpa bunyi alarm yang mengusik dan selalu memaksa saya bangun tersebut, tetapi badan saya juga terasa lebih segar, terasa nyenyak sekali rasanya tidur saya pada malam harinya. Entah apa yang terjadi.

            Malam harinya, memang agak berbeda dari malam-malam yang lain. Sebab pada saat saya beranjak tidur, memang terdengar suara hujan, yang tidak seperti suara hujan biasanya. Hujan di Chongqing ini biasanya hanya sekedar gerimis kecil-kecil saja, sangat jarang hujan deras seperti di Indonesia. Tapi hujan di malam itu pun bukan tipe hujan deras, suaranya lebih seperti ada sesuatu yang lebih berat dan padat dari sekedar jutaan air yang berjatuhan. 


Ah bodo’ lah, udah ngantuk”, pikir saya.


Saya pun tertidur. 




Saya terbangun keesokan harinya dengan kondisi tubuh yang, entah kenapa, terasa lebih segar. Dan, ketika saya membuka tirai jendela kamar, saya lebih terkejut lagi dengan kondisi luar kamar, yang secara menakjubkan diselimuti oleh tumpukan benda halus berwarna putih, yang tidak disangka-sangka, setelah sekitar 3 tahun, akan mampir ke Chonging pada hari itu. Ya, Chongqing bersalju! Jadi ini penyebab tubuh saya tiba-tiba segar! Ia tahu bahwa ada sesuatu yang menarik sedang terjadi, sesuatu yang sudah lama saya idam-idamkan, dan akhirnya terwujud! Tak terbayangkan betapa bahagianya saya saai itu!

Salju pertama saya di kota yang terkenal sebagai salah satu kota terpanas di dataran China. Chongqing merupakan salah satu dari 4 kota munisipal terbesar di China, bersama dengan Beijing, Shanghai dan Tianjin, dan termasuk kota industri terbesar di sepanjang dataran Negeri Panda ini. Sebagai kota industri, pembangunan kota Chongqing lebih diutamakan ke pabrik-pabrik yang, berkat limbah polusi yang dihasilkan, menjadikan kota ini memiliki iklim yang cukup aneh.

Musim panas di sini memang sangat panas, dengan suhu mencapai 40°C tanpa adanya sinar matahari yang menyengat. Ya. Cuaca di Chongqing saat musim panas memang bisa mendung, terkadang hujan rintik-rintik, tetapi suhu udara tetap sekitar 32-35°C. Panas yang dihasilkan bukan panas karena terik matahari yang menyengat, tetapi lebih ke pengap, rasanya seperti kekurangan oksigen untuk bernapas. Dan, musim dingin di Chongqing biasanya ‘hanya’ mencapai 1-5°C, hanya dingin yang menusuk tulang tanpa adanya salju, paling menthok hujan yang lumayan deras. 

Yaah, hal yang cukup mengecewakan saya pada awalnya. Karena saya berharap dapat melihat dan mengalami sendiri musim dingin bersalju, seperti yang biasa saya lihat di film-film. Dan ternyata, bukan hanya saya saja. Setiap pelajar asing, terutama dari Indonesia, yang saya kenal, pun agak kecewa karena tidak bisa menikmati salju musim dingin di Chongqing.





Namun, hari itu, sepertinya semua doa, harapan dan penantian kami pun terkabul. Jalanan Chongqing, di bagian Daxuecheng, tempat kampus kami berada, lebih tepatnya, diselimuti oleh kristal putih yang menumpuk dan terlihat sangat fluffyYuhuuu!!

Saya yang kelewat bahagia dan super excited langsung keluar dan menikmati salju perdana di Chongqing. Itu pertama kalinya saya melihat dan merasakan salju secara langsung. Melihat bagaimana setiap butiran kristal heksagonal salju berjatuhan dari langit, berusaha memegangnya dengan menengadahkan tangan saya, dan melihatnya mencair secara perlahan di telapak tangan saya. Merasakan pula bagaimana rasanya memegang tumpukan salju yang sudah menumpuk di permukaan tanah, mengambilnya dengan tangan saya sendiri, merasakan kelembutan teksturnya, yang kurang lebih mirip seperti menggenggam bunga es di freezer kulkas, hanya saja lebih lembut, untuk pertama kali.  

Sungguh perasaan yang menakjubkan. Ya, setiap hal yang dilakukan pertama kali, terlebih lagi itu hal yang unik, dan kita menyukainya, pasti selalu menimbulkan perasaan yang menakjubkan. Ya ‘kan?

Tentu saja kesempatan itu tidak kami lewatkan sia-sia dengan mengabadikan momen tersebut. Hal yang langka seperti ini tentu saja tidak akan berlangsung lama. Pengalaman mengajarkan saya itu. Sok bijak!



Namun, tidak bisa berlama-lama pula kami mengabadikan momen itu karena kamera HP saya tiba-tiba error.  Teman saya, yang sempat merasakan pengalaman bersalju di Jerman, memberi saya pencerahan bahwa memang HP akan sedikit error ketika digunakan di suasana bersalju, dikarenakan cuaca yang terlalu dingin sehingga menghambat kinerja HP. Dia pun juga mengatakan bahwa sebaiknya saya menghindari penggunaan HP yang berlebihan dan menghangatkannya kembali agar tidak error.

Saya pun hanya manthuk-manthuk saja mengiyakan, karena memang selain kekatrokan saya yang pertama kali melihat salju, tetapi juga ketika di rumah dulu adik saya saja sampai harus nangkring di kulkas untuk memperoleh suasana sejuk. Maklum, kipas angin sudah tidak mempan dan membeli AC terlalu mahal. Maksudnya, kalau kulkas bisa dimanfaatkan sebagai AC, kenapa tidak? True Story (bergaya dengan memakai jas sambil menggoyang-goyangkan gelas kaki berisi jus anggur)





Setelah saya menghangatkan HP saya sejenak, dengan mendekapnya erat-erat,  berusaha memberikan kehangatan kepadanya, seperti saya mendekap kekasih hati saya, kalau dan semoga saja ada, suatu saat nanti (maklum, sudah terlalu lama jomblo. Abaikan), kami pun menuju flat kawan kami di kompleks seberang, mengajak dia dan junior, yang kebetulan menginap di sana, untuk bermain salju.

Hari itu memang momen pertama bagi kami semua untuk menikmati salju. Jadi, tentu saja kami sangat bersemangat. Kelewat bersemangat, malah. Kami bermain perang salju, menggumpalkan salju dan melempar-lemparkannya sambil berteriak-teriak layaknya anak kecil. Bahkan, mungkin saking terlihat kekanakannya kami saat itu, anak-anak kecil di sekitar pun ikut bergabung dengan peperangan kami tersebut. Tak lupa, kami juga membuat boneka salju kami yang pertama. Yaahh, walaupun sama sekali berbeda dari model boneka salju mainstream, dikarenakan modifikasi di sana-sini, tapi kami cukup puas. Sangat puas malah.



Saya jadi berpikir, bahagia memang sederhana. Terkadang, hal-hal yang terlihat sepele, justru mampu menjadi kunci kebahagiaan bagi diri kita. Bukan apa yang dilakukan, sebenarnya, yang membuat bahagia, namun momen di saat kebahagiaan itu tercapailah yang membuat kita bahagia. Seperti ketika kita sangat mengharapkan sesuatu, tetapi kita harus menerima tamparan dari kenyataan yang pahit, dan kemudian di saat-saat desperate kita, ketika kita berpikir bahwa harapan itu tidak akan menjadi kenyataan, namun realita kehidupan kembali berbalik menyerang kita dengan mengabulkan apa yang sudah sejak lama kita harapkan itu, bisa menjadi hal paling membahagiakan yang pernah dirasakan.

Tak perlu membeli barang-barang mewah nan berkilau. Tak perlu bepergian, tamasya kesana-kemari untuk dapat mengecap kebahagiaan. Mencukupkan diri dengan apa yang ada, sembari sambil terus berusaha dan senantiasa berharap yang terbaik, namun juga mengantisipasi yang buruk, tentunya, justru akan membuat kebahagiaan itu sendiri yang mampir, datang ke kehidupan kita. Karena, memang, kehidupan selalu memiliki caranya tersendiri untuk membuktikan bahwa kita itu salah. For better or for worse.


Selamat berbahagia, teman-teman!


NB: Jika kalian merasa konten blog ini menarik, bisa like Facebook: CalonDokter, untuk update postingan berikutnya. 

Ditunggu komentar, kritik & sarannya agar CalonDokter semakin berkembang! 

Terima kasih ^0^   

Monday 25 January 2016

Cellular Signal 'Gosipping' (English)




Hey, did you know? Last night when I was taking a stroll with Manish, suddenly we bumped into Neil and Riri. They were holding hands and then bla bla bla… And, ugh, after that I felt bla blueh bleh…


           The dialog shown above is one of the conversation, which I often heard, from my girl friends (not girlfriends, I don’t even have any at the moment, sadly speaking). The conversation which is, actually, capable to fills the gloomy and lonely days of ours. The conversation which had became a media for us to communicate and gather information. The conversation which, at a glimpse, seems to has no end and, strangely enough, would never run out of topic every day. The conversation which, seems had, became the first to check in our To-Do List, when we’re hanging out with friends, especially for the girls. What kind of conversation am I talking about, anyway?

Well, let me give you some clues:

1). This conversation is widely popular among girls

2). This conversation is commonly used by using this kind of system: Source of information/Informant à First Receiver à Second Receiver à Third, Fourth Receiver, and so on

3). The main function of this kind of conversation is to relay information from one source, which is the informant, to one another continuously. So that the majority of others know about it.




Yepp, the kind of conversation that I’m talking about is: Gossip, a kind of information gathering which depends on the continuously relay of information from one person to the others. Gossiping seems like to have already become something non-unfamiliar for us, whoever we are and wherever we are, it can be stated for sure that we had ever participated in it. No matter if we acknowledge it or not. No matter if we remember in doing so or not.

            And, curiously speaking, the stereotype of gossiping had, since many years ago, become a distinct characteristic of females, although, in some cases, males are also willing to take a role in it. Or to be precise, are curious to know some up to date information from our surroundings.

Since the desire to know, based on advanced form of Maslow’s Hierarchy of Needs, is one of the things that we, as humans, considered to be important to be fulfilled. Thus, creating the overwhelming urge in ourselves, consciously or not, to gather as much information as we could. And gossip, for some people, provided the decent fulfillment for that necessity.

Although the authenticity and credibility of the information in gossip is highly questionable, but, well, that’s not the point here actually.

The point is the way or method of how the gossip was spread and being relayed is, in fact, pretty much similar to one of the metabolic process in our body, which called Cellular Signal Transduction/CST.  The main function of this process is to relay the information from the extra-cellular environment into the cell, which will then react accordingly to the information given. 

For example: The glucagon hormone in the blood stream will tell the hepatocytes in our liver, whether it should increase the glycogen level or not.


CST's cascade in our cell


And, the main and unique feature of this process, which is somewhat similar to gossip, is the continuously relay of information from one molecule to the others, which is called cascade. The continuously relay of information, which was started from the outer membrane-receptor, to the intracellular signal transducers (including second messenger and other proteins), then to the effecter protein, which then will have a specific reaction according to the information given, has the role of enhancing and strengthening the information’s signal.

In other words, the longer the cascade is, that means that the more important the information that was being relayed. Pretty much similar to gossip: the more people know about it, then the more interesting and ‘important’ the gossip really is, isn’t it?

Furthermore, the process of CST is somewhat resembled the one that of the gossip

1). The first process of CST is the binding of information-carrying molecules, which is called ligand, to the specific outer membrane-receptors. There are a lot of ligands in our body, such as: hormones (Glucagon, Angiotensin, Vasopressin etc) Acetylcholine, etc. This process, simply speaking, is the analogy of the relay of gossip information from the informant to the first receiver.

2). After the ligand has bind to the receptor, it will trigger the next molecules to active: intracellular signal transducers. This molecules, which is consisted of: second messenger, such as cGMP and cAMP (nucleotides), Calcium ion, DAG (lipid), etc; and other protein molecules, such as G-Protein, Adaptor Protein, Schaffold Protein, Protein Kinase/Phosphate, etc, served the role of enhancing and strengthening the information’s signal.  This is similar to the relay of the gossip news from the first receiver to the second receiver, or from the second receiver to the third receiver, and so on.

3). The activation of the intracellular signal transducers will activate the other molecules, known as the effecter protein, which is functioned to give a response according to the information that has been relayed. This is the final process of the ‘gossip cascade’, when every related components have served their role in relaying the information and the accordingly response has been commenced.

Based on that simple explanation, it can be concluded that thanks to the ‘gossiping’ of the related components which composed our cells, we’re able to maintain our metabolic process, which has supported our life up until now. So, frankly speaking, are we being maintained and supported through gossip? Unfortunately, it seems so. But, as long as we use that ‘gossip’ for the good of others, it’s okay right? Just like how our body is ‘gossiping’ through the Cellular Signal Transduction pathways.


I’m joking, there’s basically no good in gossip.


But anyway, thanks for reading the article!   
   













ThingsGuideIndian Education BlogThingsGuide