Saturday 21 November 2015

Serangan Paris vs Serangan Palestina, Suriah, dan Yaman: Apakah Dunia Memang Tidak Adil?


Dialog tokoh Aku dengan sisi lain dririnya terkait dengan serangan Paris. Selamat menikmati ^_^




           Jumat, 13 November 2015 adalah hari yang tidak akan pernah terlupakan oleh hampir seluruh penduduk dunia, terutama penduduk kota Paris, Perancis. Pada hari itu, terjadi serangkaian kegiatan teroris yang terencana, penembakan, bom bunuh diri dan penyanderaan. Aku, yang pada hari itu sedang bersantai di flat antara percaya tidak percaya mendengar berita tersebut. Banyak orang yang akhirnya menghubungkan insiden tersebut dengan keangkeran Friday the 13th, karena memang pada hari yang sama juga terjadi bom di Beirut, Lebanon dan gempa bumi di Jepang. 

Begitu kulihat timeline Lineku, banyak ucapan “Pray for Paris” dari orang-orang yang merasa bersimpatik atas insiden tersebut. Namun, tak sedikit pula yang memprotes tindakan orang-orang yang mencoba bersimpati itu dengan alasan bahwa mereka sudah betindak tidak adil.
Ketika Palestina, Yaman dan Suriah terkena serangan teroris dan menewaskan ribuan bahkan ratusan ribu nyawa tak berdosa termasuk wanita dan anak-anak, media seolah acuh.Namun, ketika Paris terkena serangan teroris yang “hanya” menelan korban ratusan jiwa, seluruh dunia termasuk media seketika panik, seolah tragedi Paris adalah tragedi terbesar sepanjang massa.

 “Ah, benar juga”, pikirku, “bukankah tragedi di Timur Tengah lebih parah dari tragedi Paris, kok begitu aja semua orang lebay. Share ucapan “Pray for Parislah, menambah filter bendera Perancis di profile picture Facebook mereka lah. Sedangkan Gaza dan Suriah yang setiap hari dihujani bom seolah gak ada tindakan apa-apa untuk menanganinya. Seolah dibiarkan aja”.

Cukup lama aku merenungkan apa yang telah terjadi dengan media saat ini. Sungguh tidak adil. Telah cukup lama aku berkutat dengan pemikiran itu, hingga aku merasa lelah sendiri. Kulangkahkan kakiku dengan malas ke kamar mandi untuk mencuci muka.


Ketika aku menghadap ke cermin kamar mandi, sontak aku kaget. Yang kulihat di cermin bukannya wajah lelah dan suntukku dengan kantung mata cukup tebal karena begadang semalaman, namun kulihat di cermin sesosok lelaki yang berparas sangat mirip denganku, hanya saja sorot matanya dingin dan tajam seolah menembus alam pikirku, seolah mengisyaratkan dia dapat membaca isi pikiranku, dengan senyum menyeringai yang memperlihatkan gigi-giginya yang kekuningan dan agak berantakan. Aneh sekaligus menakutkan, persis seperti psikopat yang biasa kutonton di film-film. 

Ya, itu ‘Dia’. Bagi kalian yang belum mengenal siapa 'dia', kusarankan untuk membaca terlebih dahulu kisah yang sempat kutulis di blog ini, berjudul "Aku vs Dia'". Sudah cukup lama dia tidak muncul lagi sebagai diriku dan kini tiba-tiba dia muncul, hanya saja bukan dengan mengambil alih tubuh dan pikiranku seperti sebelumnya, namun sebagai bayangan diriku di cermin.  

“Apa maunya kali ini?”, tanyaku dalam hati.

“Hai”, sapanya singkat dengan suaraku, hanya suaranya agak serak.

“Apa maumu? Sudah lama kau tidak muncul dan kini kau tiba-tiba muncul di cermin seperti ini. Pergi! Aku tidak ingin kau mengganggu kehidupanku lagi dan mengubahku menjadi seorang brutal yang pemarah!”, teriakku kepadanya. Wajahku sepertinya sudah memerah karena memendam amarah yang bergejolak.

Namun, ekspresinya tidak berubah. Dia tetap dengan ekspresi tenangnya, memandangku dengan sorot mata yang dingin dan tajam, sambil tetap mempertahankan seringai menyeramkannya itu.

“Tenang”, katanya perlahan, “aku tahu kau sedang suntuk. Kali ini, aku datang hanya untuk berdiskusi sejenak”, katanya dengan ekspresi yangseolah meyakinkanku bahwa kedatangannya kali ini tidak akan menimbulkan masalah.

“Hah? Berdiskusi?”, tanyaku keheranan. Tak kusangka, seorang ‘dia’ yang selalu bersikap kasar dan tak bermoral kini mengajakku untuk berdiskusi.

“Aku tahu, kini kau sedang prihatin atas standar ganda yang dilakukan oleh media atas insiden Paris terhadap insiden Palestina, Yaman dan Suriah. Kau, sama halnya dengan aktivis dan pejuang kemanusiaan lainnya, berpendapat bahwa ketika terjadi serangkaian kegiatan teroris di Palestina, Yaman maupun Suriah media seolah bungkam, tidak begitu banyak berkomentar dan hanya memberitakan hal yang seperlunya. Namun, ketika terjadi aksi teror di Paris, seketika seluruh dunia seperti terguncang dan media langsung memberitakan insiden tersebut seolah insiden tersebut adalah tragedi kemanusiaan terbesar. Betul?”, tanyanya.

 “Ya tentu saja”, jawabku mantap.

“Hmf”, dengusnya sambil agak memalingkan wajahnya, “tidak kah kau pernah berpikir, bahwa apa yang terjadi di negara-negara Timur Tengah seperti Palestina merupakan konflik yang sudah lama terjadi? Setiap hari mereka sudah dihujani peluru, setiap hari mereka kehilangan orang-orang yang mereka kenal dan cintai. Setiap hari pula wanita dan anak-anak mereka menangis karena kekacauan yang terjadi. Sedangkan di Paris? Penduduk di sana terbiasa hidup tenang. Setiap hari mereka pergi ke kantor dan sekolah dengan tenteram. Hang out dengan teman-temannya di kafe terdekat. Hingga suatu malam, terjadi peristiwa penembakan dan bom bunuh diri. Dengan kata lain, terjadi sesuatu yang berbeda dari apa yang biasa terjadi. Tentu itu sesuatu yang luar biasa kan? Jadi, wajar saja jika seluruh dunia ikut panik”, katanya.

 “Lalu? Apa maksudmu?”, tanyaku penuh tanda tanya. Masih belum bisa kucerna perkataannya itu.

“Begini, jika dianalogikan: ketika di Rusia turun salju, itu merupakan hal yang biasa. Karena memang dalam kesehariannya orang-orang Rusia terbiasa dengan salju. Namun, ketika di Arab Saudi turun salju, bukankah itu merupakan hal yang luar biasa? Fenomena yang aneh dan janggal kan? Jadi, wajar lah jika media terus menerus memberitakan hal ini”,  katanya mencoba menjelaskan padaku.

”Lho? Ya jelas tidak bisa disamakan lah!”, kataku setengah teriak. 




Bersambung...







Unknown Calon Dokter

Seorang pemuda rantau yang tengah menempuh Pendidikan Kedokteran di Chongqing Medical University. Selain kuliah, saya juga aktif blogging dan berorganisasi di PPI Tiongkok.

No comments:

Post a Comment


ThingsGuideIndian Education BlogThingsGuide