Thursday 19 November 2015

Geger Nabi Palsu dari Makassar: Tanda-tanda Akhir Zaman ataukah Sindiran Keras untuk Umat Beragama Saat Ini?




Beberapa waktu yang lalu sempat terjadi hal yang cukup menggegerkan: hadirnya sosok wanita dari Makassar yang mengaku sebagai nabi. Ya, Hadasari namanya. Kehadirannya membuat heboh warga sekitar, karena secara tiba-tiba dia datang ke salah satu kampus di Makassar, dengan berkata kepada khalayak ramai bahwa dia adalah seorang nabi yang di utus oleh Allah setelah Nabi Muhammad SAW untuk menyatukan seluruh umat beragama dan melengkapi Al-Qur’an, kitab suci umat Islam.

Dengan pengakuannya tersebut, reaksi masyarakat sekitar sudah dapat ditebak. Tak sedikit yang mencelanya, menganggapnya sebagai orang gila, dan lain sebagainya. Bahkan ada juga yang berkomentar bahwa akhir zaman sudah dekat. Namun, saya pribadi sebenarnya memiliki pandangan sendiri terkait kemunculan Hadasari yang cukup menghebohkan ini. Berikut uraiannya:

Akhir-akhir ini, kita selaku umat beragama terlalu ‘disibukkan’ dengan konflik beberapa kelompok tertentu yang selalu menyangkut-pautkan permasalahan mereka dengan keyakinan masing-masing. Entah itu konflik internal antar pemeluk agama yang sama, maupun konflik antar agama yang berbeda. Sebagai contoh: konflik antar mazhab Sunni-Syi’ah yang sampai berujung pada pengusiran salah satu golongan dari kampung halamannya, karena faham mazhab yang dianut berbeda dengan masyarakat sekitar. Contoh lain yaitu pembakaran masjid oleh sekelompok umat beragama di Tolikara, Papua. Dan sebenarnya masih banyak konflik lain yang jika kita pikirkan kembali dengan jernih, sebenarnya pokok permasalahannya satu: intoleransi kita akan kepercayaan yang dianut oleh orang lain.

Kita, entah sejak kapan, telah terbiasa untuk menilai bahwa segala hal yang berbeda dengan keyakinan kita adalah SALAH. Bibit pemikiran tersebut telah ditanamkan di benak kita sejak kecil. Terbukti jika kita melakukan sesuatu yang ‘aneh’ dan tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat sekitar, seketika mereka pun mencibir, bahkan menertawakan kita. Padahal belum tentu yang kita lakukan itu benar-benar salah. Kalaupun memang salah, toh seharusnya kita diarahkan secara bijak untuk menjadi lebih baik, bukannya malah dicibir atau ditertawakan, kan?

Ketika kita ditertawakan karena tindakan aneh kita, justru yang terjadi adalah: kita dengan ‘terpaksa’ menuruti keinginan mereka, ya agar tidak ditertawakan lagi. Tapi jauh di lubuk pemikiran dan hati kita yang terdalam, telah tersimpan ‘pembelajaran’ tersendiri bahwa segala hal yang berbeda itu SALAH. Dan akhirnya kita pun cenderung untuk turut menyalahkan orang lain yang berbeda dari kita, membentuk semacam ‘dendam’ tersendiri di dalam diri kita.

Hal yang sama juga ternyata berlaku dalam beragama, dan bukan hanya satu orang, tetapi hampir semua orang mengalami hal yang sama. Hingga akhirnya terbentuk lah semacam ‘faham’ baru di masyarakat kita bahwa semua yang berbeda adalah SALAH. Inilah akar permasalahan yang sebenarnya.

Namun ternyata, ada beberapa orang yang memiliki kepedulian yang begitu besar dengan kondisi masyarakat yang seperti itu, salah satunya mungkin Hadasari ini. Dia (mungkin) prihatin dengan kondisi masyarakat sekitarnya yang selalu merasa paling benar hingga merasa berhak untuk menyalahkan orang lain yang berkeyakinan berbeda. Dia (mungkin) geram dengan perilaku orang-orang yang merasa bahwa surga secara pasti akan diberikan kepadanya hingga merasa sah-sah saja untuk memvonis orang lain masuk neraka. Dia (sepertinya) pun kesal dengan mereka yang merasa sudah suci dan dekat dengan Tuhan sehingga tidak salah jika mengkafirkan orang lain.

Namun, tak peduli seberapa besar kepeduliannya tersebut, dia merasa tidak memiliki kekuasaan apa pun untuk memperbaiki kondisi ini. Hingga (mungkin) muncullah ide ‘brillian’nya untuk mengangkat dirinya menjadi seorang nabi. Karena, tentu saja, perkataan nabi pasti selalu didengar, kan? Dengan begitu, diharapkan kekhawatirannya dapat didengarkan oleh masyarakat dan mengubah mereka menjadi pribadi yang lebih baik. Hal ini terbukti oleh ‘misi kenabian’ yang ditulisnya dalam selembar kertas yang dipegangnya ketika pertama kali menyampaikan ‘risalah kenabian’nya, yaitu: “Nabi Hadasari diperintahkan oleh Allah menyampaikan semua agama. Jangan saling membenci dan jangan saling bermusuhan” (Dapat dilihat kembali di gambar di bawah judul)

Jadi, apakah kita akan tetap melanjutkan ‘tradisi’ untuk memaksakan keyakinan kita kepada orang lain ini? Apakah kita akan tetap meneruskan konflik yang sebenarnya tidak perlu ini? Apakah kita rela untuk ‘melahirkan’ Hadasari-Hadasari baru di kemudian hari?

Jawabannya ada di dalam diri kita masing-masing. Mari kita bertanya kepada diri sendiri, apa yang lebih kita butuhkan: Kepuasan karena berhasil memaksakan keyakinan kita atau kedamaian karena berhasil memahami perbedaan yang ada? 









Unknown Calon Dokter

Seorang pemuda rantau yang tengah menempuh Pendidikan Kedokteran di Chongqing Medical University. Selain kuliah, saya juga aktif blogging dan berorganisasi di PPI Tiongkok.

No comments:

Post a Comment


ThingsGuideIndian Education BlogThingsGuide