Beberapa
waktu yang lalu sempat terjadi hal yang cukup menggegerkan: hadirnya sosok
wanita dari Makassar yang mengaku sebagai nabi. Ya, Hadasari namanya.
Kehadirannya membuat heboh warga sekitar, karena secara tiba-tiba dia datang ke
salah satu kampus di Makassar, dengan berkata kepada khalayak ramai bahwa dia
adalah seorang nabi yang di utus oleh Allah setelah Nabi Muhammad SAW untuk
menyatukan seluruh umat beragama dan melengkapi Al-Qur’an, kitab suci umat
Islam.
Dengan
pengakuannya tersebut, reaksi masyarakat sekitar sudah dapat ditebak. Tak
sedikit yang mencelanya, menganggapnya sebagai orang gila, dan lain sebagainya.
Bahkan ada juga yang berkomentar bahwa akhir zaman sudah dekat. Namun, saya
pribadi sebenarnya memiliki pandangan sendiri terkait kemunculan Hadasari yang
cukup menghebohkan ini. Berikut uraiannya:
Akhir-akhir
ini, kita selaku umat beragama terlalu ‘disibukkan’ dengan konflik beberapa
kelompok tertentu yang selalu menyangkut-pautkan permasalahan mereka dengan
keyakinan masing-masing. Entah itu konflik internal antar pemeluk agama yang
sama, maupun konflik antar agama yang berbeda. Sebagai contoh: konflik antar
mazhab Sunni-Syi’ah yang sampai berujung pada pengusiran salah satu golongan
dari kampung halamannya, karena faham mazhab yang dianut berbeda dengan masyarakat
sekitar. Contoh lain yaitu pembakaran masjid oleh sekelompok umat beragama di
Tolikara, Papua. Dan sebenarnya masih banyak konflik lain yang jika kita
pikirkan kembali dengan jernih, sebenarnya pokok permasalahannya satu:
intoleransi kita akan kepercayaan yang dianut oleh orang lain.
Kita, entah
sejak kapan, telah terbiasa untuk menilai bahwa segala hal yang berbeda dengan
keyakinan kita adalah SALAH. Bibit pemikiran tersebut telah ditanamkan di benak
kita sejak kecil. Terbukti jika kita melakukan sesuatu yang ‘aneh’ dan tidak
sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat sekitar, seketika mereka pun
mencibir, bahkan menertawakan kita. Padahal belum tentu yang kita lakukan itu
benar-benar salah. Kalaupun memang salah, toh seharusnya kita diarahkan
secara bijak untuk menjadi lebih baik, bukannya malah dicibir atau ditertawakan,
kan?
Ketika kita
ditertawakan karena tindakan aneh kita, justru yang terjadi adalah: kita dengan
‘terpaksa’ menuruti keinginan mereka, ya agar tidak ditertawakan lagi.
Tapi jauh di lubuk pemikiran dan hati kita yang terdalam, telah tersimpan ‘pembelajaran’
tersendiri bahwa segala hal yang berbeda itu SALAH. Dan akhirnya kita pun
cenderung untuk turut menyalahkan orang lain yang berbeda dari kita, membentuk
semacam ‘dendam’ tersendiri di dalam diri kita.
Hal yang sama
juga ternyata berlaku dalam beragama, dan bukan hanya satu orang, tetapi hampir
semua orang mengalami hal yang sama. Hingga akhirnya terbentuk lah
semacam ‘faham’ baru di masyarakat kita bahwa semua yang berbeda adalah SALAH.
Inilah akar permasalahan yang sebenarnya.
Namun
ternyata, ada beberapa orang yang memiliki kepedulian yang begitu besar dengan kondisi
masyarakat yang seperti itu, salah satunya mungkin Hadasari ini. Dia (mungkin) prihatin
dengan kondisi masyarakat sekitarnya yang selalu merasa paling benar hingga
merasa berhak untuk menyalahkan orang lain yang berkeyakinan berbeda. Dia (mungkin)
geram dengan perilaku orang-orang yang merasa bahwa surga secara pasti akan
diberikan kepadanya hingga merasa sah-sah saja untuk memvonis orang lain masuk
neraka. Dia (sepertinya) pun kesal dengan mereka yang merasa sudah suci dan
dekat dengan Tuhan sehingga tidak salah jika mengkafirkan orang lain.
Namun, tak
peduli seberapa besar kepeduliannya tersebut, dia merasa tidak memiliki
kekuasaan apa pun untuk memperbaiki kondisi ini. Hingga (mungkin) muncullah ide
‘brillian’nya untuk mengangkat dirinya menjadi seorang nabi. Karena, tentu
saja, perkataan nabi pasti selalu didengar, kan? Dengan begitu,
diharapkan kekhawatirannya dapat didengarkan oleh masyarakat dan mengubah
mereka menjadi pribadi yang lebih baik. Hal ini terbukti oleh ‘misi kenabian’
yang ditulisnya dalam selembar kertas yang dipegangnya ketika pertama kali menyampaikan
‘risalah kenabian’nya, yaitu: “Nabi Hadasari diperintahkan oleh Allah
menyampaikan semua agama. Jangan saling membenci dan jangan saling bermusuhan”
(Dapat dilihat kembali di gambar di bawah judul)
Jadi, apakah
kita akan tetap melanjutkan ‘tradisi’ untuk memaksakan keyakinan kita kepada
orang lain ini? Apakah kita akan tetap meneruskan konflik yang sebenarnya tidak
perlu ini? Apakah kita rela untuk ‘melahirkan’ Hadasari-Hadasari baru di
kemudian hari?
Jawabannya
ada di dalam diri kita masing-masing. Mari kita bertanya kepada diri sendiri,
apa yang lebih kita butuhkan: Kepuasan karena berhasil memaksakan keyakinan
kita atau kedamaian karena berhasil memahami perbedaan yang ada?
No comments:
Post a Comment