Dialog tokoh Aku dengan sisi lain dririnya terkait dengan serangan Paris. Selamat menikmati ^_^
Jumat, 13 November 2015 adalah hari yang tidak
akan pernah terlupakan oleh hampir seluruh penduduk dunia, terutama penduduk
kota Paris, Perancis. Pada hari itu, terjadi serangkaian kegiatan teroris yang terencana,
penembakan, bom bunuh diri dan penyanderaan. Aku, yang pada hari itu sedang
bersantai di flat antara percaya tidak percaya mendengar berita tersebut.
Banyak orang yang akhirnya menghubungkan insiden tersebut dengan keangkeran Friday
the 13th, karena memang pada hari yang sama juga terjadi bom di
Beirut, Lebanon dan gempa bumi di Jepang.
Begitu kulihat timeline
Lineku, banyak ucapan “Pray for Paris” dari orang-orang yang merasa
bersimpatik atas insiden tersebut. Namun, tak sedikit pula yang memprotes
tindakan orang-orang yang mencoba bersimpati itu dengan alasan bahwa mereka
sudah betindak tidak adil.
Ketika Palestina,
Yaman dan Suriah terkena serangan teroris dan menewaskan ribuan bahkan ratusan
ribu nyawa tak berdosa termasuk wanita dan anak-anak, media seolah acuh.Namun,
ketika Paris terkena serangan teroris yang “hanya” menelan korban ratusan jiwa,
seluruh dunia termasuk media seketika panik, seolah tragedi Paris adalah tragedi
terbesar sepanjang massa.
“Ah, benar juga”, pikirku, “bukankah tragedi
di Timur Tengah lebih parah dari tragedi Paris, kok begitu aja semua
orang lebay. Share ucapan “Pray for Paris” lah,
menambah filter bendera Perancis di profile picture Facebook
mereka lah. Sedangkan Gaza dan Suriah yang setiap hari dihujani bom
seolah gak ada tindakan apa-apa untuk menanganinya. Seolah dibiarkan aja”.
Cukup lama aku
merenungkan apa yang telah terjadi dengan media saat ini. Sungguh tidak adil.
Telah cukup lama aku berkutat dengan pemikiran itu, hingga aku merasa lelah
sendiri. Kulangkahkan kakiku dengan malas ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Ketika aku
menghadap ke cermin kamar mandi, sontak aku kaget. Yang kulihat di cermin
bukannya wajah lelah dan suntukku dengan kantung mata cukup tebal karena
begadang semalaman, namun kulihat di cermin sesosok lelaki yang berparas sangat
mirip denganku, hanya saja sorot matanya dingin dan tajam seolah menembus alam
pikirku, seolah mengisyaratkan dia dapat membaca isi pikiranku, dengan senyum
menyeringai yang memperlihatkan gigi-giginya yang kekuningan dan agak
berantakan. Aneh sekaligus menakutkan, persis seperti psikopat yang biasa
kutonton di film-film.
Ya, itu ‘Dia’. Bagi kalian yang belum mengenal siapa 'dia', kusarankan untuk membaca terlebih dahulu kisah yang sempat kutulis di blog ini, berjudul "Aku vs Dia'". Sudah cukup lama dia tidak muncul lagi sebagai diriku dan kini tiba-tiba dia
muncul, hanya saja bukan dengan mengambil alih tubuh dan pikiranku seperti
sebelumnya, namun sebagai bayangan diriku di cermin.
“Apa maunya kali ini?”,
tanyaku dalam hati.
“Hai”, sapanya
singkat dengan suaraku, hanya suaranya agak serak.
“Apa maumu? Sudah
lama kau tidak muncul dan kini kau tiba-tiba muncul di cermin seperti ini.
Pergi! Aku tidak ingin kau mengganggu kehidupanku lagi dan mengubahku menjadi
seorang brutal yang pemarah!”, teriakku kepadanya. Wajahku sepertinya sudah
memerah karena memendam amarah yang bergejolak.
Namun, ekspresinya
tidak berubah. Dia tetap dengan ekspresi tenangnya, memandangku dengan sorot
mata yang dingin dan tajam, sambil tetap mempertahankan seringai menyeramkannya
itu.
“Tenang”, katanya
perlahan, “aku tahu kau sedang suntuk. Kali ini, aku datang hanya untuk
berdiskusi sejenak”, katanya dengan ekspresi yangseolah meyakinkanku bahwa
kedatangannya kali ini tidak akan menimbulkan masalah.
“Hah? Berdiskusi?”,
tanyaku keheranan. Tak kusangka, seorang ‘dia’ yang selalu bersikap kasar dan
tak bermoral kini mengajakku untuk berdiskusi.
“Aku tahu, kini
kau sedang prihatin atas standar ganda yang dilakukan oleh media atas insiden
Paris terhadap insiden Palestina, Yaman dan Suriah. Kau, sama halnya dengan
aktivis dan pejuang kemanusiaan lainnya, berpendapat bahwa ketika terjadi
serangkaian kegiatan teroris di Palestina, Yaman maupun Suriah media seolah
bungkam, tidak begitu banyak berkomentar dan hanya memberitakan hal yang
seperlunya. Namun, ketika terjadi aksi teror di Paris, seketika seluruh dunia
seperti terguncang dan media langsung memberitakan insiden tersebut seolah
insiden tersebut adalah tragedi kemanusiaan terbesar. Betul?”, tanyanya.
“Ya tentu saja”, jawabku mantap.
“Hmf”,
dengusnya sambil agak memalingkan wajahnya, “tidak kah kau pernah berpikir,
bahwa apa yang terjadi di negara-negara Timur Tengah seperti Palestina
merupakan konflik yang sudah lama terjadi? Setiap hari mereka sudah dihujani
peluru, setiap hari mereka kehilangan orang-orang yang mereka kenal dan cintai.
Setiap hari pula wanita dan anak-anak mereka menangis karena kekacauan yang
terjadi. Sedangkan di Paris? Penduduk di sana terbiasa hidup tenang. Setiap
hari mereka pergi ke kantor dan sekolah dengan tenteram. Hang out dengan
teman-temannya di kafe terdekat. Hingga suatu malam, terjadi peristiwa
penembakan dan bom bunuh diri. Dengan kata lain, terjadi sesuatu yang berbeda
dari apa yang biasa terjadi. Tentu itu sesuatu yang luar biasa kan? Jadi, wajar
saja jika seluruh dunia ikut panik”, katanya.
“Lalu? Apa maksudmu?”, tanyaku penuh tanda tanya. Masih belum bisa
kucerna perkataannya itu.
“Begini, jika
dianalogikan: ketika di Rusia turun salju, itu merupakan hal yang biasa. Karena
memang dalam kesehariannya orang-orang Rusia terbiasa dengan salju. Namun,
ketika di Arab Saudi turun salju, bukankah itu merupakan hal yang luar biasa?
Fenomena yang aneh dan janggal kan? Jadi, wajar lah jika media terus
menerus memberitakan hal ini”, katanya
mencoba menjelaskan padaku.
”Lho?
Ya jelas tidak bisa disamakan lah!”, kataku setengah teriak.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment